Areq Weriq - Ebe Abe |
Konsep ini
sepintas tampak sejalan dengan apa yang terkandung dalam bahasa
Kedang. Seperti dikatakan dalam artikel sebelumnya, “Pria dan Wanita dalam Bahasa Kedang,”
bahwa dalam bahasa Kedang :
Ø Wanita dilahirkan sebagai areq rian (perempuan besar)
dan kemudian menjadi areq weriq(perempuan
kecil), dan terakhir menjadi weq
rian (badan besar).
Sepertinya
dalam konsep ini, wanita tidak dilahirkan sebagai wanita, melainkan menjadi
wanita. Tetapi apa artinya menjadi wanita?
Menjadi wanita dalam konsep bahasa Kedang
tidak seperti yang dimaksudkan de Beauvoir. Konsep menjadi wanita dalam bahasa Kedang di sini, tampaknya
selalu dalam ketersandingan dengan pria. Artinya walaupun tidak dilahirkan
sebagai wanita melainkan menjadi wanita, essensi wanitanya sepertinya sudah
jelas, yakni :
Ø areq weriq dan nantinya weq rian, walaupun itu pun masih tetap menjadi bagian
pilihan. Memang betul bahwa orang tidak dilahirkan sebagai wanita, melainkan
menjadi wanita. Tetapi menjadi wanita di sini berarti menjadi weq rian, suatu essensi yang
sudah ditetapkan dalam masyarakat.
Seperti
sudah dikatakan, bahwa dalam bahasa Kedang laki-laki lahir sebagai :
Ø anaq abe (laki-laki kecil) menjadi ebe abe(laki-laki muda)
dan ate rian (orang
besar) ketika dia menjadi suami.
Bila kita
menyandingkan dua model perkembangan ini, akan tampak bahwa bahasa Kedang
sedikit banyak menggambarkan perkembangan fisik dan psikologis manusia. Wanita
memang lebih cepat bertumbuh daripada pria, termasuk perkembangan
psikologisnya.
Ø Pantas kalau laki-lakinya masih kecil (anaq abe), perempuannya sudah
lebih cepat besar dan dewasa (areq
rian).
Ø Tetapi ketika seorang pria menjadi laki-laki
perkasa (ebe abe), wanita
justru menjadi gadis mungil (areq
weriq). Dan akirnya laki-laki (ebe
abe) hanya menjadi ate
rian (orang besar) ketika dia menjadi suami seorang wanita.
Ø Dalam bahasa Kedang pria atau laki-laki
justru baru menjadi ate rian (orang
besar) ketika berhadapan dengan perempuan. Berarti perempuan justru yang
membuat laki-laki menjadi orang besar. Suami atau pria yang sudah beristeri
dalam bahasa Kedang disebut ate
rian, yang harafiahnya berarti orang besar.
Dalam
masyarakat dan budaya Kedang mesti ada resiprositas yang progresif dan
sinergik. Artinya pertemuan pria dan wanita harus membawa arti dan signifikansi
baru bagi kedua pihak.
Ø Bahwa pria hanya menjadi ate rian (orang besar)
ketika menjadi suami seorang wanita.
Ø Dan wanita hanya menjadi weq rian (badan besar)
ketika menjadi isteri dari seorang pria.
Artinya bahasa Kedang tidak membenarkan bahwa
wanita hanya menjadi manusia ketika diperhatikan pria, karena pria juga hanya
menjadi manusia utuh kalau diperhatikan wanita.
Perbedaan kecil ini kiranya tidak untuk
merendahkan martabat wanita melainkan sebagai konsekuensi dari pola masyarakat
patriarkhal. Dalam pola ini pria harus menjadi kepala, pemimpin, pengayom dan
sebagainya; tetapi ini hanyalah masalah perbedaan dalam pemberian dan
pelaksanaan fungsi yang diatur berdasarkan kemampuan dan energi, bukan atas
dasar perbedaan martabat. Maka ketidak-adilan, kekerasan, keputusan sepihak
dalam rumah tangga, jelas tidak sesuai dengan konsep gender dalam bahasa dan
budaya Kedang karena melanggar martabat manusia. Segala sesuatu yang menyangkut
fungsi dalam rumah tangga atau masyarakat harus dibicarakan bersama dalam
dialog yang jujur, setara, dan demokratis.
Apakah
praktik belis atau mahar pernikahan tidak sejalan dengan konsep bahasa ini?
Sebenarnya tidak, lantaran dalam praktiknya, belis memang datang dari pihak
pria, tetapi selalu ada balasan dalam bentuk lain yang harus diserahkan juga
oleh pihak wanita kepada pihak lelaki. Jadi sebenarnya ada unsur timbal balik.
Apa lagi konsep belis sebaiknya dibicarakan dalam konteks keluarga yang lebih
besar atau suku.