Senin, 01 Oktober 2018

‘GADING GAJAH’ (BALA ), MAS KAWIN DALAM PERNIKAHAN MASYARAKAT KEDANG

Berbeda dengan masyarakat Jawa yang mas kawin untuk pernikahannya bisa berupa uang atau perhiasan. Masyarakat di  Kawasan Flores, Adonara, Solor, Lembata-Kedang (Florata) menggunakan gading gajah atau bala untuk mas kawin. Setiap pria yang ingin mempersunting gadis pujaannya harus memiliki gading gajah sebagai syarat wajib sebelum disetujui sehingga pernikahan bisa dilaksanakan.
Tradisi menggunakan gading gajah sebagai mahar sudah dijalankan oleh penduduk di kawasan Florata. Bagi mereka, gading gajah adalah benda yang berharga dan kadang dianggap sebagai benda keramat sehingga harganya terus meroket. Berikut ulasan tentang masa kawin (belis) gading gajah dalam pernikahan adat masyarakat Florata.
Asal-Usul Gading Gajah di Flores
Penggunaan gading gajah untuk mahar atau belis di Florata mungkin terlihat aneh. Terlebih di kawasan itu sama sekali tidak ada gajah yang hidup. Selama ini gajah hanya hidup di kawasan Sumatra yang memiliki banyak hutan. Lantas dari mana gading gajah itu bisa ada dan jumlah cukup banyak dan seperti tidak ada habisnya.
Dari beberapa penelusuran di Flores ditemukan beberapa penjelasan tentang asal-usul dari gading gajah itu. Pada zaman prasejarah kawasan Flores pernah digunakan sebagai tempat tinggal gajah purba. Gading yang ada kemungkinan juga berasal dari fosil-fosil yang ditemukan. Selain dari fosil, gading yang ada di sana juga konon di bawah oleh raja Sikka. Pada abad ke-17, dia pergi ke Malaka yang masih dikuasai oleh Portugal. Saat pulang, dia membawa banyak gading gajah yang akhirnya banyak diberikan kepada tuan tanah dan bangsawan. Banyaknya bala atau gading gajah yang diperlukan untuk pernikahan bervariasi. Biasanya keluarga dari pria akan melakukan negosiasi dengan keluarga wanita. Jika terjadi kesepakatan, pihak keluarga pria akan datang lagi dengan membawa gading gajah dan pernikahan yang diimpikan itu bisa segera dijalankan dengan meriah.

Perhitungan Panga (Mahar)/ Mas Kawin Masyarakat Kedang
Dalam kehidupan Budaya Masyarakat  Kedang, mengenal sebuah istilah panga atau dalam isitilah umum dikenal dengan sebutan mahar. 

Untuk mengetahui nilai sebuah mahar masyarakat kedang tidak hanya melihat dari segi jumlah benda/objek tersebut tetapi  memperhatikan berapa nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini tentu unik dan berbeda dengan budaya masyarakat lain di luar Kedang. Inilah yang menjadikan kedang itu unik baik dari segi bahasa maupun budaya.

Dalam perhitungan “Panga” / Mahar, masyarakat Kedang hanya mengenal angka yang terdiri dari 5 angka dasar yaitu  1 2 3 4 5 (Muna’, Kasuen, Telun, Ka’apa’, Lemen) dan angka-angka yang lain merupakan hasil penjumlahan dari angka dasar tersebut. Untuk dapat memahami dengan baik maka hal dasar yang perlu dipahami adalah arti dan nilai dari muna’ , kasuen, telun, ka’apak, dan lemen seperti diuraikan dalam tabel berikut:
Nama/Nilai
Muna’
Kasuen
Telun
Ka’apak
Lemen
Muna’
1
1
1+1
1+1+1 atau 1 + Kasuen
1+1+1+1 atau 1+Telun atau
Kasuen+Kasuen
1+1+1+1+1 atau 1+ ka’apak atau Kasuen + Telun
Kasuen
2
Telun
3
Ka’apak
4
Lemen
5
 Masyarakat Kedang dalam kehidupan berbudaya hanya mengenal lima angka dasar tersebut. Lima angka dasar tersebut memiliki peran penting dalam memberi arti dan nilai sebuah objek atau benda yang berhubungan dengan budaya dan tradisi setempat. Satu objek/benda tidak hanya dilihat semata secara kualitas objek itu sendiri baik dari segi jumlah maupun mutu melainkan dapat dinilai secara kuantitas mengenai nilai yang terkandung dalam objek itu sendiri.

Sampai pada  lemen atau yang simbol 5 sebagai bagian pertama dari angka untuk terciptanya angka-angka lain. Untuk dapat dengan mudah memahami penggunaan Lemen   maka hal dasar yang harus dipahami adalah bahwa Lemen memiliki nilai yang terkandung didalamnya adalah muna’ leme atau dalam simbol matematika dapat ditulis 1 Lemen sama dengan Muna’ 5  sama halnya dalam perhitungan detik, menit  pada jam  dimana 1 menit sama dengan 60 detik.  Dalam tabel berikut akan diuraikan untuk angka-angka selanjutnya, dimana oleh masyarakat setempat menggunakan Lemen  di tambah atau dikalikan dengan 5 angka dasar pertama untuk memperoleh angka yang lainnya



Angka
6
7
8
9
10
11
Nilai
Lemen 1 + Muna’1
Lemen1 + Muna’ 2 atau Lemen 1 + Kasuen
Lemen 1 + Muna’3 atau Lemen 1 + Telun
Lemen  + Ka’apak
Lemen 2
Lemen 2 + muna 1’

Dst....


Pada table tersbut perlu sebuah logika matematika dalam pendekatan kultur dan budaya untuk bisa memecahkan simbol dan pemaknaan yang terkandung didalamnya sebab sebuah kultur dan tradisi syarat akan nilai. Mari kita perhatikan secara saksama 5 angka dasar tersebut diatas sebagaimana dianut masyrakat Kedang. Dalam susunan Muna’ Kasuen, Telun, Ka’apak dan lemen.  Ka’ apak atau disimbol 4 merupakan bagian kecil dari  angka sedangkan lemen merupakan bagian pertama angka sebagai dasar pembentukan angka selanjutnya hal ini dikarenakan masyarakat Kedang mengenal sistem perhitungan berbasis lima sama halnya masyarakat Babilonia dimana mengenal sistem perhitungan berbasis 60 seperti yang kita kenal dalam perhitungan jam sekarang.  Dengan demikian angka leme a’pak (9) dalam istilah bahasa Kedang dikarenakan masyarakat Kedang mengenal sistem perhitungan berbasis lima sehingga angka bisa menghasilkan angka sembilan hanya ada pada lemen dan ka’apa dimana lemen adalah merupakan bagian pertama dari angka sedangkan ka’apa adalah bagian kecil dari angka.

Mari kita jaga keunikan yang ada di Budaya Kedang, sebelum akhirnya hilang ditelan zaman.

@leumara-01/10/2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KESETARAAN PRIA DAN WANITA DALAM BAHASA KEDANG

Areq Weriq - Ebe Abe Menjadi wanita artinya seorang wanita itu bebas untuk memilih, dan tidak bisa ditentukan sebelumnya menjadi wanit...