Senin, 08 Oktober 2018

KESETARAAN PRIA DAN WANITA DALAM BAHASA KEDANG


Areq Weriq - Ebe Abe
Menjadi wanita artinya seorang wanita itu bebas untuk memilih, dan tidak bisa ditentukan sebelumnya menjadi wanita seperti apa. Ini sejalan dengan konsep pokok eksistensialist bahwa “eksistensi mendahului essensi”. Artinya manusia dalam hal ini wanita tidak berkembang sesuai dengan satu essensi yang sudah ditentukan sebelumnya, seperti ketika seorang tukang membuat lemari, melainkan berkembang bebas tanpa bisa dipastikan. Ketika membuat lemari misalnya, seorang tukang sudah mempunyai gambar, seperti apa lemari ini nantinya. Ini tidak bisa terjadi pada perkembangan manusia. Manusia adalah makhluk bebas yang selalu berhadapan dengan berbagai kemungkinan pilihan yang tidak terbatas dan karena itu tidak bisa ditentukan sebelumnya.
Konsep ini sepintas tampak sejalan dengan apa yang terkandung dalam bahasa Kedang. Seperti dikatakan dalam artikel sebelumnya, “Pria dan Wanita dalam Bahasa Kedang,” bahwa dalam bahasa Kedang :
Ø  Wanita dilahirkan sebagai areq rian (perempuan besar) dan kemudian menjadi areq weriq(perempuan kecil), dan terakhir menjadi weq rian (badan besar).
Sepertinya dalam konsep ini, wanita tidak dilahirkan sebagai wanita, melainkan menjadi wanita. Tetapi apa artinya menjadi wanita?
Menjadi wanita dalam konsep bahasa Kedang tidak seperti yang dimaksudkan de Beauvoir. Konsep menjadi wanita dalam bahasa Kedang di sini, tampaknya selalu dalam ketersandingan dengan pria. Artinya walaupun tidak dilahirkan sebagai wanita melainkan menjadi wanita, essensi wanitanya sepertinya sudah jelas, yakni :
Ø  areq weriq dan nantinya weq rian, walaupun itu pun masih tetap menjadi bagian pilihan. Memang betul bahwa orang tidak dilahirkan sebagai wanita, melainkan menjadi wanita. Tetapi menjadi wanita di sini berarti menjadi weq rian, suatu essensi yang sudah ditetapkan dalam masyarakat.
Seperti sudah dikatakan, bahwa dalam bahasa Kedang laki-laki lahir sebagai :
Ø  anaq abe (laki-laki kecil) menjadi ebe abe(laki-laki muda) dan ate rian (orang besar) ketika dia menjadi suami.
Bila kita menyandingkan dua model perkembangan ini, akan tampak bahwa bahasa Kedang sedikit banyak menggambarkan perkembangan fisik dan psikologis manusia. Wanita memang lebih cepat bertumbuh daripada pria, termasuk perkembangan psikologisnya.
Ø  Pantas kalau laki-lakinya masih kecil (anaq abe), perempuannya sudah lebih cepat besar dan dewasa (areq rian).
Ø  Tetapi ketika seorang pria menjadi laki-laki perkasa (ebe abe), wanita justru menjadi gadis mungil (areq weriq). Dan akirnya laki-laki (ebe abe) hanya menjadi ate rian (orang besar) ketika dia menjadi suami seorang wanita.
Ø  Dalam bahasa Kedang pria atau laki-laki justru baru menjadi ate rian (orang besar) ketika berhadapan dengan perempuan. Berarti perempuan justru yang membuat laki-laki menjadi orang besar. Suami atau pria yang sudah beristeri dalam bahasa Kedang disebut ate rian, yang harafiahnya berarti orang besar.
Dalam masyarakat dan budaya Kedang mesti ada resiprositas yang progresif dan sinergik. Artinya pertemuan pria dan wanita harus membawa arti dan signifikansi baru bagi kedua pihak.
Ø  Bahwa pria hanya menjadi ate rian (orang besar) ketika menjadi suami seorang wanita.
Ø  Dan wanita hanya menjadi weq rian (badan besar) ketika menjadi isteri dari seorang pria.
Artinya bahasa Kedang tidak membenarkan bahwa wanita hanya menjadi manusia ketika diperhatikan pria, karena pria juga hanya menjadi manusia utuh kalau diperhatikan wanita.
Perbedaan kecil ini kiranya tidak untuk merendahkan martabat wanita melainkan sebagai konsekuensi dari pola masyarakat patriarkhal. Dalam pola ini pria harus menjadi kepala, pemimpin, pengayom dan sebagainya; tetapi ini hanyalah masalah perbedaan dalam pemberian dan pelaksanaan fungsi yang diatur berdasarkan kemampuan dan energi, bukan atas dasar perbedaan martabat. Maka ketidak-adilan, kekerasan, keputusan sepihak dalam rumah tangga, jelas tidak sesuai dengan konsep gender dalam bahasa dan budaya Kedang karena melanggar martabat manusia. Segala sesuatu yang menyangkut fungsi dalam rumah tangga atau masyarakat harus dibicarakan bersama dalam dialog yang jujur, setara, dan demokratis.
Apakah praktik belis atau mahar pernikahan tidak sejalan dengan konsep bahasa ini? Sebenarnya tidak, lantaran dalam praktiknya, belis memang datang dari pihak pria, tetapi selalu ada balasan dalam bentuk lain yang harus diserahkan juga oleh pihak wanita kepada pihak lelaki. Jadi sebenarnya ada unsur timbal balik. Apa lagi konsep belis sebaiknya dibicarakan dalam konteks keluarga yang lebih besar atau suku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KESETARAAN PRIA DAN WANITA DALAM BAHASA KEDANG

Areq Weriq - Ebe Abe Menjadi wanita artinya seorang wanita itu bebas untuk memilih, dan tidak bisa ditentukan sebelumnya menjadi wanit...