Jumat, 28 September 2018

URI SELE (Pantun - KEDANG

Pantun Kedang (Uri Sele)
Bahasa Kedang merupakan salah satu bahasa daerah yang dipakai oleh hampir sebagian masyarakat di sebeah Timur Pulau Lembata NTT. Selain unik, bahasa Kedang juga merupakan bahasa  yang agak sulit untuk dipelajari. Pantun-pantun (Uri Sele) di bawan ini adalah beberapa pantun masyarakat Kedang yang sering dipakai dalam acara-acara adat yang dibawakan dalam tarian daerah ataupun dalam lagu-lagu daerah. Mari kita lestarikan Pantun/ Uri Sele, yang merupakan nilai-nilai Budaya Kedang agar tidak terlupakan begitu saja oleh generasi sekarang dan yang akan datang. 

Selamat berpantun!


URI SELE (PANTUN KEDANG)

Uyelewun kayaq tene
Dorong dopeq ote ne ne
Bele Buyaq nore  Ome
Uular naga ara bora
Aahin tutuq kara doraq
Pan ebeng bale boraq

Aapi kiloq ote ili
Aapi kiloq ale sue
Nulur mui kara kueq
Padu eera ole wata
Padu eera natan-natan
Adung puhu roing aataq

Uben bute ara nulur
Nulur ui eten one
Lun ko ketiq bete doq ne
Oaq eluq e’a naun
Eluq sape moan sue
Kelen rehi me tebeq ueq

Nerung erung di’en ohaq pana ohaq mi’er
Noq nape te haraq rupa
Tubun i tara upal-upal
Noreq boreq sareq kata tutuq kata kareq
Ele nape te aadan mawu
Tawun ii tara mawu-mawu

Areq weriq buyaq tepa
Ael se apoq nape repaq
Uudeq kael uudeq koroq
Boteq leu soraq orong

Areq weriq Watang wala
Lamang tara suya paya
Pan o doa laeq ko bale
Tema pohing teq ine ame

Ebe tiboq Lodo Laleng
Eroq kara o urang laleng
Pan doa di laeq ko bale
Tema wating teq huna hale

Tuaqmado lala wutuq
Dei reiq teti tutuq
Tutuq puli panang aanaq
Ebeng tara anaq-anaq

Areq ketiq alu malan
Laleng moq sobe engar laen
Oneq  ahaq laleng ko ae
Puaq be koq huna laleng

Eroq ebe muda baran
Uha riwong namo anen balan
Ata ahaq hoing naiq
Nape bale te bongan watiq

Eroq ariq sita sayang
Mara koq laleng suya paya
Ake sape bihar bahe
Bale wue mal di nau saya

Eroq tata o kara polor
Mara moq laleng olor-olor
Doa bale dehiq di bale
Tauq buiq koq laleng lae

Awuq batuq eero neboq
Huneq tubar mara ebo
Ebo toi tua lahar
Tokong nape ledo dahang

KAIN TENUN KEDANG

Kain atau lebih spesifik yang dikenal dengan pakaian adalah produk yang tidak pernah berhenti dan selalu dikembangkan. Pakaian selalu dimodifikasi hampir setiap hari untuk selalu mengikuti trend dan fasion yang ada. Kain merupakan bahan sandang yang sangat-sangat dibutuhkan manusia saat ini, baik dari zaman nenek moyang kita mereka telah lama mengenal kain. Disini kain yang dipakai atau digunakan merupakan kain tradisional yang sudah turun temurun dipakai oleh leluhurnya. Bahan yang digunakan juga berasal dari tumbuh-tumbuhan yaitu kapas sedangkan pewarnanya digunakan juga dari tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan warna yang baik.
Motif tenun ikat Kedang ternyata cukup sederhana, berupa garis-garis horizontal dengan diselingi motif geometris. Walau motifnya sederhana tapi tetap indah karena warna-warnanya menarik. Untuk menyelesaikan selembar kain, biasanya dibutuhkan waktu sekitar satu minggu tergantung kerumitan motifnya.

Awal mulanya Kain/Pakaian yang dipakai menggunakan kulit kayu (a’i ama’) dan dedaunan. Kulit kayu dan dedaunan itu sendiri terus mengalami perubahan dan modifikasi untuk dijadikan pakaian. Gebang( tebu’) adalah sejenis pohon yang dimanfaatkan daunnya untuk dijadikan pakaian. Cara pengolahannyapun mudah dimana daun tersebut mula-mula dikeringkan dari daun gebang yang sudah kering selanjut dipisahkan antara kulit inti dengan kulit ari. Kulit inti daun gebang (Te’bu’ lolon) ini selanjutnya dipintal dan dianyam untuk dijadikan pakaian. Pakaian yang terbuat dari kulit inti daun gebang merupakan fasion/mode baru saat itu dan bertahan cukup lama.

Walaupun demikian hal ini akhirnya tergantikan pula dengan ditemukan tanaman kapas. Ketika tanaman kapas ditemukan dan diolah menjadi pakaian maka daun gebang hanya dapat dijadikan sebagai tali. Walaupun proses pengolahan dari kapas untuk menjadi kain yang dapat dijadikan pakaian ada hal yang sulit namun tektur dan kelembutan dari bahan kapas lebih baik dan nyaman sebagai pakaian maka kapaslah bahan yang sangat sesuai sebagai bahan pembuatan kain/pakaian hingga saat ini.

Proses pembuatan kapas sampai menjadi kain merupakan sebuah rangkaian proses yang panjang.


1.       Mehar a’pe : Kapas terlebih dahulu dipisahkan dari biji dan kotoran lainnya  dengan cara digiling dengan menggunakan alat giling.
2.       Panu’el  : Kapas yang sudah dibersihkan selanjutnya dipintal menjadi benang dengan menggunakan alat  pintal.
3.       Tueng lelu : Proses pemintalan dengan alat khusus.

Kapas yang sudah dijadikan benang selanjutnya dicelupkan untuk mendapatkan warna tertentu. Bahan-bahan pewarnaan umumnya didapatkan dari alam diantara akar mengkudu, daun nila, akar bakau, jambu biji, mangga dan masih banyak yang lainnya. Namun demikian dengan menggunakan pewarnaan alami memiliki rangkaian proses yang panjang dalam kurun waktu yang lama untuk bisa memperoleh warna yang diinginkan, selain dari itu ketersedian variasi warna yang dapat dihasilkan pewarna alam sangat terbatas serta ketersediaan bahan yang tidak siap dipakai, hal-hal ini menjadikan hambatan tersendiri dalam penggunaan pewarna alami.
Masuk pewarna buatan / sintetik dengan mudah menggantikan posisi pewarna alami. Hal ini dikarenakan pewarna buatan memiliki variasi warna yang cukup banyak serta bahan pewarna yang siap pakai dengan proses yang mudah namun demikian sangat berpengaruh dan merusak lingkungan sekitar dibandingkan dengan penggunaan warna alami.

Pada awal mulanya benang-benang yang hasilkan langsung ditenun artinya pengetahuan akan pewarnaan belum ada. Namun seiring dengan berjalannya waktu akhirnya ditemukannya warna hitam sehingga kain-kain tenun yang ditemui saat itu adalah kain yang berwarna putih dan hitam. Namun perjalanan warna berkembang begitu cepat sehingga dengan cepat pula dihasilkan kain-kain/ sarung-sarung dengan aneka variasi warna walaupun masih sangat terbatas.

Istilah yang sering digunakan dalam penyebutan Kain Tenun Kedang :



1.       Mowaq : aneka variasi motif.
2.    Wela Garumba : motiv untuk satu sarung hanya ada pada dua bagian yakni pada bagian atas dan bagian bawah sarung (wela)
3.       Wela Bitiq : motiv yang dihasilkan dengan cara diangkat sama hal dengan menganyam.
4.       Nowin Ape : kain/sarung yang khusus dipakai oleh laki-laki.


Untuk motiv itu sendiri orang Kedang tidak memiliki ciri khsusus atau tepatnya dibilang khas. Dominan motiv pada umumnya adalah motiv ruit, periuk tanah, rusa, namun akhir-akhir ini sangat jarang ditemukan motiv-motiv tersebut. Motiv-motiv saat ini sudah melampau batas budaya/cultur setempat, terkadang motiv yang dibuat tergantung pada si pemesan. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada hilangnya sejarah motiv asli kedang itu sendiri. Walaupun kolaborasi/variasi motiv yang dihasilkan saat ini masih memilki daya tarik seperti motiv garuda, motiv ikan paus dan sebagainya namun motiv-motiv tersebut belum mencirikan ke khasan tenun Kedang.

Selasa, 25 September 2018

“ORANG” DALAM BAHASA KEDANG

Orang Baik (Atedie'en )
Istilah bahasa Kedang untuk manusia atau orang adalah atedi'en. Terjemahan harafiahnya adalah ate artinya orang dan di'en artinya baik. Jadi atedi'en sebenarnya berarti orang baik
Sepertinya tersirat di sini konsep tentang “manusia” dalam bahasa Kedang, bahwa manusia itu pada dasarnya baik, bersahabat, tidak jahat, dan tidak bermusuhan. Dia baru menjadi egois atau altruis setelah dibentuk oleh sentuhan peradaban. Jadi kejahatan manusia itu bukan bawaan sejak lahir melainkan hasil sentuhan peradaban.
Kata di'en (baik) di sini juga menggambarkan kelembutan, sikap bersahabat, ramah, baik hati, gentle. Ini lebih terasa ketika kata ini diberi bentuk superlatifnya, menjadi di'en herun
Kata herun itu sepertinya bersemenda dengan kata yang berakar sama yakni werun (baru), eru(n) (manis), atau erung (bersahabat). Maka orang baik di sini adalah orang yang lembut hati, ramah, bersahabat, suka mengampuni (mulai baru [werun]).
Bahasa Kedang mengistilahkan orang jahat dengan kata atedi'en daten (orang baik yang jahat). Sepertinya terbaca dalam konsep ini bahwa perbuatan (yang jahat) itu tidak serta merta membuat seseorang menjadi orang jahat. Dia tetap orang, atedi'en (orang baik), yang melakukan perbuatan jahat. Artinya perbuatan tidak membuat seseorang menjadi orang jahat, melainkan membuat orang baik menjadi tercoreng oleh kejahatan. Maka kecorengannya itu yang harus dihapus, supaya dia dipulihkan kembali menjadi orang (baik). Yang melekat pada manusia dan menjadi kodrat manusia adalah kebaikan sedangkan keburukan itu tidak melekat, karenanya bisa ditanggalkan atau dicabut.
Pelepasan atau pembebasan dari kecorengan itu harus dilakukan dengan hukuman (punishment). Punishment itu bisa dilakukan dengan denda dan upacara pengurbanan hewan (ayam) sebagai pengganti. Di sini ada semacam konsep penebusan. Misalnya ayam menjadi korban untuk menggantikan orang yang seharusnya dihukum karena kejahatannya (komutatif), disertai denda dalam bentuk gading atau gong (retributif). Orang tidak perlu dihukum sendiri, melainkan digantikan oleh hewan sebagai korban. Artinya kejahatan itu setara dengan hewan, dan bukan manusia. Maka hewannya yang boleh dikorbankan dan manusianya kembali ke posisi aslinya (fitra) sebagai atedi'en di'en orang (baik) yang baik.
Konsep ini bisa mengajak kita untuk meneliti lebih jauh tentang konsep etika keutamaan dan etika kewajiban yang tersirat dalam bahasa sebagai bagian dari budaya Kedang. Kalau etika keutamaan lebih menekankan orang daripada perbuatannya, sementara etika kewajiban lebih menekankan perbuatan daripada orang, maka budaya Kedang lebih condong ke etika keutamaan. Yang penting adalah atedi'en-nya bukan perbuatannya. Orang yang melakukan kejahatan, bahkan orang jahat sekalipun, dalam bahasa Kedang disebut atedi'en daten (orang baik yang jahat), bukan ate daten (orang jahat). Walaupun melakukan perbuatan yang jahat, manusia itu tetap orang baik yang perbuatannya salah. Perbuatan yang tidak baik tidak serta merta melepaskan orang dari kemanusiaannya yang pada dasarnya baik.
Kata ate (orang) juga bisa digunakan tanpa di'en
misalnya dalam istilah aterian, yang berarti suami, tetapi harafiahnya istilah ini berarti orang besar. 
Atau juga dalam menyatakan jumlah: ate pulu artinya sepuluh orang. 
Ada yang mengatakan bahwa ini sebenarnya hanya soal penyingkatan saja dari rumusan lengkapnya atedi'en pulu. Tetapi alasan ini tidak dapat diterapkan dalam aterian, sebagai penyingkatan dari atedi'en rian. Karena istilah terakhir ini berbeda dengan kata aterian, karena atedi'en rian sebenarnya tidak merujuk pada suami melainkan pada orang yang besar (badannya, atau pangkat/kuasanya/statusnya).
Kata ate di sini mau merujuk pada ate (orang) yang sudah faktual terpapar dengan peradaban, jadi tidak serta merta di'en (baik lagi), dia bisa menjadi tidak baik. Itu juga terjadi ketika berhitung orang dalam bahasa Kedang. Di sini yang dibutuhkan adalah angkanya, bukan baik atau tidaknya orang.
Jadi, manusia pada dasarnya baik, sementara yang tidak baik itu dikenal setelah manusia berpaparan dengan peradaban. Sehingga orang itu tetap orang baik, tetapi bisa menjadi jahat setelah berpaparan dedisembedded) dari manusia yang pada dasarnya baik untuk kembali menjadi orang baik. Terlihat bahwa yang penting dan dibutuhkan di sini bukannya kekuasaan bertangan besi yang melecut dari luar untuk mencegah kejahatan dan mempertobatkan, melainkan gerakan penebusan, pemulihan, pemaafan, pengampunan dari dalam untuk mengembalikan manusia ke posisi aslinya yakni orang baik. Gerakan menjadi orang baik harus bertumbuh secara otentik dari dalam dan bukannya dipaksakan secara represif dari luar. Pertobatan itu tidak bisa dipaksakan, melainkan harus datang dari dalam diri sendiri.
ngan peradaban (bisa tetap baik, bisa juga menjadi jahat), tetapi kejahatan itu tidak kodrati, maka bisa dilepaskan (

Minggu, 23 September 2018

PRIA DAN WANITA DALAM BAHASA KEDANG

Pria dan Wanita dalam Bahasa Kedang
Dalam bahasa Kedang perempuan biasa disebut  areq rian. Bisa diterjemahkan secara harafiah ke dalam bahasa Indonesia menjadi perempuan besar.  Maka ketika seorang melahirkan seorang bayi perempuan, orang akan mengatakan: anaknya areq rian (perempuan besar)Pada hal yang ada sebenarnya seorang bayi perempuan mungil. Bagaimana si bayi kecil ini bisa disebut perempuan besar?
Dan ketika si bayi perempuan (areq rian) ini menjadi gadis perawan, dia akan disebut areq weriq. Terjemahan harafiah dalam bahasa Indonesia adalah perempuan kecil.  Bagaimana areq rian (perempuan besar) sementara si gadis perawan yang sudah besar malah disebut areq weriq (perempuan kecil)?
bisa bayi perempuan disebut
Selanjutnya ketika areq weriq (gadis perawan) ini menikah, dia akan disebut weq rian, terjemahan harafiah ke dalam bahasa Indonesianya menjadi badan besar. Mengapa isteri dalam bahasa Kedang disebut weq rian (badan besar)?
Sementara itu laki-laki dalam bahasa Kedang termasuk bayi laki-laki adalah anaq abe. Ini tepat. Dalam bahasa Indonesia anaq abe bisa diterjemahkan menjadi anak laki. Ketika menjadi remaja, dia menjadi ebe abe (lelaki muda). Tetapi ketika dia menikah dia akan menjadi ate rian (artinya dalam bahasa Indonesia orang besar/dewasa).
Dengan demikian dalam perkembangannya, seorang perempuan akan mulai dengan areq rian (perempuan besar)areq weriq (perempuan kecil), dan weq rian (badan besar atau isteri). Sementara pria mulai dengan anaq abe (anak laki), ebe abe (lelaki muda) dan ate rian (orang besar atau suami). Ada ketidak-setaraan dalam perkembangan ini. Singaktnya perkembangan perempuan mulai dengan areq rian(perempuan besar), areq weriq (perempuan kecil), dan weq rian (badan besar).  Sementara perkembangan lelaki mulai dengan anaq abe (anak laki), ebe abe (lelaki muda), dan ate rian (orang besar).  Mengapa isteri disebut weq rian (badan besar) sementara suami disebut ate rian (orang besar)?
Ada apa di balik rahasia ini?

“TERIMA-KASIH” DALAM BAHASA KEDANG

Terima Kasih Bahasa Kedang
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh para pemerhati bahasa Kedang adalah: apa istilah “terima-kasih” dalam bahasa Kedang. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dalam Bahasa Kedang, istilah terima kasih itu tidak ada. Berarti orang Kedang tidak tahu terima-kasih. Ini kesimpulan yang
menyesatkan. Kata terima-kasih sebenarnya berarti saya menerima dan mengakui kasihmu, kebaikanmu, perhatianmu, dan semua jasa dan pengorbanan yang kau lakukan untukku dengan kebesaran hati.
Dalam bahasa Kedang istilah “terima kasih” atau kerennya “thanks” memang tidak ada. Tetapi itu tidak secara niscaya berarti ekspresi terima kasih juga tidak ada pada orang Kedang. Orang Kedang mengekspresikan terima kasihnya dalam bahasa yang lebih bersifat naratif.  Berarti terima kasih dalam bahasa Kedang tidak disampaikan dengan istilah melainkan dengan narasi.  Ketika orang datang mengunjungi keluarga saya, misalnya, dan membawa sesuatu sebagai buah tangan (jarang orang pergi mengunjungi orang  atau keluarga lain dan tidak membawa buah tangan), biasanya yang diucapkan oleh ibu saya adalah kira-kira seperti ini: “Eroq e, o meq ape ta noq wa… ma piloq e kohaq di paq meq nore ape-ape heneq, dst.  (Sayang e, apa nih yang dibawa … datang kunjungi kami koq mesti bawa-bawa segala, dst). Dan ketika pulang pun si kerabat yang datang berkunjung itu akan juga diberi buah tangan untuk dibawa pulang. Narasi yang terdengar adalah kira-kira seperti ini “eroq e, keq ape-ape beq tokong ne, meq mo hengan nore iqa turin hara ite noq” dst. (sayang e, kami tak punya apa-apa, ini ada sedikit jagung titi dan ikan kering, mohon dibawa ya, dst). Inilah bahasa ekspresif orang Kedang untuk menyatakan terima kasih, bukan dalam rumusan istilah yang sudah pakem, eksak, dan mati, melainkan dalam bentuk narasi yang hidup, komunikatif, tulus, dan datang dari hati. Sekarang, karena pengaruh yang ditimbulkan oleh bahasa Indonesia, orang Kedang mulai terbiasa mengucapkan kata terima kasih, tetapi tetap dalam formula bahasa Indonesia yang sudah dipolesi dengan nuansa Kedang sehingga menjadi “tarimaq kasih e, rai-rai” (terima kasih ya, banyak-banyak).
Dalam dunia pergaulan modern pun budaya komunikasi ekspresif naratif itu sudah mulai kurang mendapat perhatian. Orang mulai terasuk oleh budaya yang serba instan, praktis, dan pragmatis. Anak-anak tidak lagi diajarkan untuk berterima kasih dalam bentuk narasi, tetapi dalam bentuk  istilah yang lebih singkat, sederhana, dan barangkali lebih enteng. Ketika anak diberi sesuatu, permen atau kue, dari seseorang, ibunya akan mengajarkan anaknya untuk mengucapkan “terima kasih”. Seorang Ibu Kedang akan mengatakan pada anaknya: “Teheq tele terima kasih” (Bilang terima kasih); lebih praktis memang, daripada harus mengajarkan anak bernarasi. Bahkan lebih singkat dan praktis lagi ketika diucapkan dalam  bahasa Inggris, “thanks”. Suatu saat ibu Kedang akan, atau mungkin sudah, mengajarkan anaknya, ketika diberi sesuatu oleh orang lain, “teheq telethanks”.
Bahasa tidak hanya mengekspresikan budaya tetapi juga menciptakan dan membentuk budaya. Maka bahasa juga mengindikasikan sekaligus juga membentuk perilaku, cara berpikir, sikap hidup, mental, budaya, peradaban dan lain-lain. Ketika pertama kali tiba di Yogyakarta, saya merasa aneh, ketika menawar becak, dan tukang becak bertanya “Orang berapa?” Bukankah bahasa Indonesia yang benar itu “berapa orang” (yang akan menumpangi becak saya)? Baru saya ingat bahwa dalam bahasa Kedang dan, setahu saya, dalam bahasa Lamaholot (bertetangga dengan bahasa Kedang) pun, ada struktur yang sama: Orang berapa (Bahasa Jawanya: wong piro; Kedangnya: ate pie? Lamaholotnya, ata pira?). Struktur bahasa ini memberi kesan bahwa orang, lebih ditekankan di sini, daripada berapa. Orang menjadi perhatian utama, bukan berapa.
Walaupun belum ada penelitian yang pasti tetapi ada kesan bahwa penutur bahasa Kedang mulai menyusut, tidak hanya dalam soal kuantitas (semakin banyak eksodus), tetapi juga dalam hal kualitas (dipengaruhi oleh bahasa lain). Tidak heran bahwa para penutur muda dari Kedang, kurang berbahasa Kedang dengan baik. Pernah salah satu anak muda dari generasi ini,  saat baru tiba di rumah (di Jakarta), saya tawari makan dalam bahasa Kedang, “ka min” (ayo, makan); dan karena sudah makan, dia menjawab “ka min deq ku”.  Saya terkejut. Bahasanya kacau. Seharusnya jawabannya ‘a ‘in deq ku (saya sudah makan), atau kalau “kami sudah makan” ka min deq ke. (bukan ka min dek ku), atau kalau mereka sudah makan “a sin deq ya”, atau dia sudah makan, “ka nin deq ne”. Apakah engkau sudah makan “ka min deq ko?”. Kalimat Ka min deq ku adalah kalimat yang salah dari gabungan dua kalimat yang benar. Dua kalimat yang benar adalah: ka min deq ke  dan ‘a ‘in deq ku, menjadi satu yang salah yakni: ka min deq ku. Sayangnya, bahwa hal yang salah ini sering berpotensi untuk kemudian menjadi kebiasaan lalu dianggap wajar dan selanjutnya serta merta menjadi benar.
Ini sering terjadi pada Bahasa Indonesia. Dulu orang menganggap aneh kalau ada yang mengatakatan “Jawabanmu sangat tepat sekali”. Tetapi sekarang uangkapan itu sudah menjadi biasa. Atau kalimat “Di Indonesia memiliki aneka ragam budaya” dulu dianggap aneh karena salah (kata depannya mengacaukan), tetapi sekarang sudah dianggap biasa. Kalimat yang salah ini sesungguhnya berasal dari dua kalimat yang benar, lalu dijadikan satu kalimat yang salah. Kalimat benar pertama: “Di Indonesia terdapat beraneka ragam budaya”. Kalimat benar kedua: “Indonesia memiliki beraneka ragam budaya”. Dua kalimat ini dijadikan satu kalimat yang salah. Dari kalimat pertama diambil “Di Indonesia”, dan dari kalimat kedua diambil “memiliki beraneka ragam budaya”. Jadilah kalimat baru yang salah: “Di Indonesia memiliki beraneka ragam budaya”.
Untuk mencegah punahnya bahasa Kedang karena merosotnya penuturnya, perlu ada pelestarian yang dikembangkan secara sadar dan sengaja. Penuturan bahasa Kedang perlu lebih diintensifkan. Grup-grup bahasa Kedang dalam WA, BBM, FB, Twitter dan sebagainya perlu dilestarikan dan dikembangkan terus. Mudah-mudahan dengan bantuan teknologi ini, bahasa Kedang tetap lestari di lidah para punya penuturnya. Orang Kedang perlu bersyukur bahwa ada peneliti yang sudah mengabadikan beberapa aspek budaya dan bahasa Kedang. Nama-nama seperti van Trier, Rober H. Barnes, dan Ursula Samely, sudah tidak asing lagi di kuping orang Kedang.

Sabtu, 22 September 2018

SAKIT DALAM BAHASA KEDANG: LAEN MOLENG

Sakit dalam bahasa Kedang
Sakit (Laen-Moleng)
Laen moleng adalah istilah bahasa Kedang untuk sakit (illnessbukan pain). Istilah ini pun terutama digunakan untuk orang yang sakit serius. Kalau sakit demam, istilah yang sering dipakai hanya panan (demam) atau emi-ruku (dingin menggigil karena demam).
Mengapa sakit serius, bahkan kalau kritis keadaannya justru disebut laen moleng. Perlu diselidiki di sini kata moleng, sebagai pasangan kata laen, itu digunakan dalam arti apa? Kata moleng sendiri sebenarnya bisa berarti sembuh, tetapi bisa juga berarti lembut, lembek, lemah gemulai, tak bertenaga (moleng talan, atau, moleng tikuq). Yang perlu diselidiki adalah moleng dalam kata laen moleng ini digunakan dalam arti yang mana? Sembuh atau lemah gemulai?
Kalau moleng di sini digunakan dalam arti sembuh, maka istilah ini menampakkan adanya semacam sikap optimis yang dibangun untuk melawan sakit; suatu optimisme sugestif yang sarat dengan harapan, yang mampu memberikan kekuatan dan daya kesembuhan. Itu berarti istilah ini mau membangun semangat dan optimisme demi menghasilkan energi dari dalam diri yang mampu membawa kesembuhan. Dalam sakit terkandung harapan akan kesembuhan. Ketika orang jatuh sakit, apa lagi sakit serius, tentu saja yang diharapkan adalah kesembuhan. Tampak di sini bahwa bahasa juga punya kekuatan untuk menyembuhkan. Bahasa tidak hanya untuk menjelaskan dan mengekspresikan sesuatu melainkan juga mengandung kekuatan. Filsuf Ludwig Wittgenstein banyak membicarakan soal ini.
Selanjutnya kalau moleng di sini berarti sembuh maka pasangan kata laen di sini adalah lawan dari moleng. Ini mungkin saja terjadi, karena ada juga kata-kata dalam bahasa Kedang yang pasangan katanya merupakan lawan kata, seperti tebeq mader yang artinya duduk, tetapi arti harafiahnya sebenarnya adalah duduk-berdiri, atau teqel tebeq, yang artinya tidur, sebenarnya secara harafiah berarti duduk-tidur. Ketika mengacu pada model ini, kata moleng di sini hanya untuk melengkapi kata laen. Yang lebih mau disampaikan dalam ungkapan ini adalah sakit seriusnya, bukan soal kesembuhan.
Tetapi, seperti sudah disinggung, kata moleng di sini juga bisa berarti lembut gemulai, lembek tak bertenaga. Kalau molengdiartikan demikian, maka moleng di sini, berfungsi sebagai penegasan atas keseriusan sakitnya. Orang yang sakit serius akan menjadi orang yang lemah, lunglai, lesu, dan tak bertenaga.
Dalam arti ini, kata laen moleng mau mengatakan bahwa orang yang sakit serius akan menjadi tak bertenaga, lemah, terkulai. Karena itu dia membutuhkan bantuan, pengobatan, sari makanan dari luar supaya dia bisa menjadi kuat kembali. Di sini aspek dukungan eksternal menjadi penting, bahwa seorang sakit serius adalah orang tak berdaya, dia membutuhkan bantuan untuk memulihkan lagi kekuatannya seperti semula.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istilah laen molengdalam bahasa Kedang bagi  mereka yang sakit keras memiliki rmaksud ganda. Pertama adalah peniupan semangat internal dalam diri orang yang sakit agar mendapatkan energi kesembuhan. Di sini kata moleng dalam laen moleng berarti sembuh. Kedua adalah dukungan dan semangat yang ditiupkan dari luar (eksternal) yang datang dari sanak keluarga, handai tolan. Di sini kata moleng dalam laen molengdiartikan sebagai lemah, lunglai, tak berdaya. Dengan kata lain, seorang sakit perlu disuntikkan semangat hidup dari dalam dirinya (internal), dan mendapatkan dukungan dari pihak sanak keluarga, sahabat, dan kenalan (eksternal).
Di sinilah kita bisa mengerti mengapa orang yang sakit serius harus meminta perlindungan ke rumah paman (saudara lelaki ibu). Karena dari keluarga paman inilah kehidupan dan jiwa si sakit itu berasal. Di sini, kedua aspek menyangkut molengini terpenuhi. Pemberian semangat dan harapan dalam jiwa untuk menjadi sembuh, dan dukungan dari luar (keluarga) untuk membuat dia kembali bangkit dan tidak terus menerus menjadi lemah dan tak berdaya.

“MENIKAH” DALAM BAHASA KEDANG

Menikah (Kuq Weq)
Kata “menikah” dalam bahasa Kedang adalah kuq weq. Terjemahan harafiahnya: kuq artinya ambil dan weq artinya badan. Tetapi apa hubungannya menikah dengan ambil badan? Kalau kita cermati secara lebih teliti, kata kuq weqsepertinya lebih masuk akal kalau dikaitkan dengan kata kuq eq yang dalam bahasa Indonesia berarti “saya ambil dan bawa”. Jadi kata kuq weq (menikah) lebih berarti ambil dan bawa. Mungkin ada hubungan juga dengan kata eweq yang artinya membawa dengan cara menenteng. Dalam pernikahan, mempelai perempuan diambil dan dibawa ke keluarga (suku) suaminya.
Kata kuq weq juga sepertinya bersemenda dengan kata kueqyang bahasa Indonesianya adalah menangis. Terkesan bahwa menangis sedih itu disebabkan karena ada yang diambil; ada yang hilang; ada perpisahan. Ada yang pergi dan ada yang tinggal. (Berbeda dengan menangis karena sakit yang dalam bahasa Kedang disebut dareng [menangis sambil mengaduh]).
Seperti sudah dikatakan kuq weq dalam konteks perkawinan artinya anak perempuan diambil dan dibawa ke suku lain (suku suaminya). Tampak ada nuansa perpisahan di sini. Sedangkan untuk pria mestinya disebut juga kuq neq (dia ambil dan bawa). Maka yang menangis pada saat perkawinan adalah mempelai wanita karena akan berpisah dengan orang tua dan saudara-saudaranya.
Sepertinya nuansa perpisahan di sini lebih berpengaruh ketimbang kebahagiaan sang mempelai wanita (yang baru saja menikah dengan lelaki pilihannya). Dalam hal ini timbul kesan bahwa romantisme percintaan pria dan wanita tampaknya kalah pamor dari romantisme ikatan persaudaraan. Pantas kalau lagu dan pantun orang Kedang lebih banyak beraroma ungkapan rasa persaudaraan, kasih sayang orang tua, dan persahabatan yang mendalam (roho auq), ketimbang pantun percintaan (ebe areq).
Kiranya pantun-pantun berikut mengilustrasikannya:
Tak bariq beni ulo
toang toiq mete mulo
kelen ate diqen palan
laba reun roun wala.
Berikut adalah pasangannya 
Laba liwo leu hiong
nape dei more sio
mieq heaq ko nape dei
tutoq kewa leweolein
Pada pasangan jenis pantun ini (pantun selalu berpasangan), sampirannya ada di baris pertama dan terakhir sedangkan isinya ada di dua baris tengah
Isi pantun ini lebih mudah diterjemahkan dari pada sampirannya. Pantun ini berkisah tentang janji (appointment) akan berangkat bersama, mungkin untuk ikut keramaian bermain tandak (sapang namang). Sahabatnya terpaksa berangkat duluan karena yang ditunggu tidak kunjung datang. “Kasian ditinggal, nanti menyusul sama siapa ya?”
Atau pantun lainnya yang biasa dilantunkan ketika makan bersama dalam sebuah perjamuan, dengan refrennya sederhana saja: A A O ode mai deq nu. Syair refrain ini biasa dipakai untuk membujuk anak yang menangis agar berhenti menangis. Tetapi sebenarnya pantun-pantun yang dilantunkan  sangat menyentuh emosi sehingga kadang-kadang orang bisa meneteskan air mata,  terutama dalam acara perpisahan. Berikut salah satu contohnya:
Lingir laong weren
tema tore wetaq dereng
Lingir laong itu semacam perhiasan emas yang dipakai kaum wanita di telinga (Bagian sampiran). Biar rumah kita bersebelahan (isi)
Eor apiq uman
Tema tore iwar lumar
Eor adalah sejenis burung bersayap kuning (Bagian ini adalah sampiran)
Biar satu ladang kita garap bersama (isi)
Sementara pantun-pantun romantisme percintaan muda-mudi, baru muncul kemudian setelah dunia pacaran mulai dikenal. Sebelumnya pernikahan selalu melalui perjodohan dengan mahan (yang sering diterjemahkan dengan ikan ayam). Anak perempuan dari si A (pria) adalah jodoh (mahan) dari anak lelakinya si B (saudara perempuannya si A).
Pantun-pantun berikut ini muncul ketika mulai ada kebebasan untuk memilih pasangan. Contoh pantunnya:
Ebe hama areq hama
Hoyan weq pan hamang
Boyoq lala kara ode
banting badan model-model
Artinya: Sesama muda-mudi remaja
saling ajak bermain tandak
Dalam perjalanan jangan dicolek
Lengang lenggok berbagai model.

Eko tua lahar deq
Ian hoka u deq me
Koloq oyoq kapung anak
Reme-reme loyo panan
Aku sudah generasi tua
Tak bisa lagi turut serta
Rumah jadi tempat nongkrong
Meluk anak di siang bolong.
Yang lebih parah lagi adalah pantun berikut ini:
Areq weriq Weikoroq
Ier kutaq bateq oroq
Kutaq birang tu aran
Permisi ereq ko hara
 Ingin tahu isi pantun ini? Tanyakan pada orang Kedang, atau gunakan saja Kamus Bahasa Kedangnya Ursula secara online..
Pantun muda mudi di atas sudah menunjukkan adanya pergeseran. Di sini tidak lagi ada aturan yang ketat mengenai sampiran dan isi. Kadang-kadang isi semua, atau sampirannya hanya satu baris, walaupun tetap ada perhatian pada aspek keselarasan bunyi. Kesan yang timbul di sini adalah bahwa pantun-pantun ini muncul pada zaman yang lebih baru. Temanya sudah mulai beralih dari pantun-pantun yang menggambarkan nostalgia persaudaraan dan persahabatan (roho auq) menuju ke sekitar romantisme pergaulan muda mudi.
Dari tampilan-tampilan bahasa ini tampak bahwa pernikahan bagi orang Kedang itu berangkat dari kesedihan (menangis) tetapi berujung pada kebahagiaan. Dan ketika sudah bersatu sebagai suami isteri, pasangan tersebut terus memolesi hubungan itu dalam romantika persaudaraan dan berkembang menjadi ikatan keluarga yang kuat. Dan kalau terjadi perpisahan, maka pasti ada tangisan. Berbeda dengan sebagian pernikahan modern, yang mulai dengan kebahagiaan tetapi berproses menjadi kesedihan dan berakhir dalam perceraian yang tak perlu ditangisi.

KESETARAAN PRIA DAN WANITA DALAM BAHASA KEDANG

Areq Weriq - Ebe Abe Menjadi wanita artinya seorang wanita itu bebas untuk memilih, dan tidak bisa ditentukan sebelumnya menjadi wanit...