Selasa, 25 September 2018

“ORANG” DALAM BAHASA KEDANG

Orang Baik (Atedie'en )
Istilah bahasa Kedang untuk manusia atau orang adalah atedi'en. Terjemahan harafiahnya adalah ate artinya orang dan di'en artinya baik. Jadi atedi'en sebenarnya berarti orang baik
Sepertinya tersirat di sini konsep tentang “manusia” dalam bahasa Kedang, bahwa manusia itu pada dasarnya baik, bersahabat, tidak jahat, dan tidak bermusuhan. Dia baru menjadi egois atau altruis setelah dibentuk oleh sentuhan peradaban. Jadi kejahatan manusia itu bukan bawaan sejak lahir melainkan hasil sentuhan peradaban.
Kata di'en (baik) di sini juga menggambarkan kelembutan, sikap bersahabat, ramah, baik hati, gentle. Ini lebih terasa ketika kata ini diberi bentuk superlatifnya, menjadi di'en herun
Kata herun itu sepertinya bersemenda dengan kata yang berakar sama yakni werun (baru), eru(n) (manis), atau erung (bersahabat). Maka orang baik di sini adalah orang yang lembut hati, ramah, bersahabat, suka mengampuni (mulai baru [werun]).
Bahasa Kedang mengistilahkan orang jahat dengan kata atedi'en daten (orang baik yang jahat). Sepertinya terbaca dalam konsep ini bahwa perbuatan (yang jahat) itu tidak serta merta membuat seseorang menjadi orang jahat. Dia tetap orang, atedi'en (orang baik), yang melakukan perbuatan jahat. Artinya perbuatan tidak membuat seseorang menjadi orang jahat, melainkan membuat orang baik menjadi tercoreng oleh kejahatan. Maka kecorengannya itu yang harus dihapus, supaya dia dipulihkan kembali menjadi orang (baik). Yang melekat pada manusia dan menjadi kodrat manusia adalah kebaikan sedangkan keburukan itu tidak melekat, karenanya bisa ditanggalkan atau dicabut.
Pelepasan atau pembebasan dari kecorengan itu harus dilakukan dengan hukuman (punishment). Punishment itu bisa dilakukan dengan denda dan upacara pengurbanan hewan (ayam) sebagai pengganti. Di sini ada semacam konsep penebusan. Misalnya ayam menjadi korban untuk menggantikan orang yang seharusnya dihukum karena kejahatannya (komutatif), disertai denda dalam bentuk gading atau gong (retributif). Orang tidak perlu dihukum sendiri, melainkan digantikan oleh hewan sebagai korban. Artinya kejahatan itu setara dengan hewan, dan bukan manusia. Maka hewannya yang boleh dikorbankan dan manusianya kembali ke posisi aslinya (fitra) sebagai atedi'en di'en orang (baik) yang baik.
Konsep ini bisa mengajak kita untuk meneliti lebih jauh tentang konsep etika keutamaan dan etika kewajiban yang tersirat dalam bahasa sebagai bagian dari budaya Kedang. Kalau etika keutamaan lebih menekankan orang daripada perbuatannya, sementara etika kewajiban lebih menekankan perbuatan daripada orang, maka budaya Kedang lebih condong ke etika keutamaan. Yang penting adalah atedi'en-nya bukan perbuatannya. Orang yang melakukan kejahatan, bahkan orang jahat sekalipun, dalam bahasa Kedang disebut atedi'en daten (orang baik yang jahat), bukan ate daten (orang jahat). Walaupun melakukan perbuatan yang jahat, manusia itu tetap orang baik yang perbuatannya salah. Perbuatan yang tidak baik tidak serta merta melepaskan orang dari kemanusiaannya yang pada dasarnya baik.
Kata ate (orang) juga bisa digunakan tanpa di'en
misalnya dalam istilah aterian, yang berarti suami, tetapi harafiahnya istilah ini berarti orang besar. 
Atau juga dalam menyatakan jumlah: ate pulu artinya sepuluh orang. 
Ada yang mengatakan bahwa ini sebenarnya hanya soal penyingkatan saja dari rumusan lengkapnya atedi'en pulu. Tetapi alasan ini tidak dapat diterapkan dalam aterian, sebagai penyingkatan dari atedi'en rian. Karena istilah terakhir ini berbeda dengan kata aterian, karena atedi'en rian sebenarnya tidak merujuk pada suami melainkan pada orang yang besar (badannya, atau pangkat/kuasanya/statusnya).
Kata ate di sini mau merujuk pada ate (orang) yang sudah faktual terpapar dengan peradaban, jadi tidak serta merta di'en (baik lagi), dia bisa menjadi tidak baik. Itu juga terjadi ketika berhitung orang dalam bahasa Kedang. Di sini yang dibutuhkan adalah angkanya, bukan baik atau tidaknya orang.
Jadi, manusia pada dasarnya baik, sementara yang tidak baik itu dikenal setelah manusia berpaparan dengan peradaban. Sehingga orang itu tetap orang baik, tetapi bisa menjadi jahat setelah berpaparan dedisembedded) dari manusia yang pada dasarnya baik untuk kembali menjadi orang baik. Terlihat bahwa yang penting dan dibutuhkan di sini bukannya kekuasaan bertangan besi yang melecut dari luar untuk mencegah kejahatan dan mempertobatkan, melainkan gerakan penebusan, pemulihan, pemaafan, pengampunan dari dalam untuk mengembalikan manusia ke posisi aslinya yakni orang baik. Gerakan menjadi orang baik harus bertumbuh secara otentik dari dalam dan bukannya dipaksakan secara represif dari luar. Pertobatan itu tidak bisa dipaksakan, melainkan harus datang dari dalam diri sendiri.
ngan peradaban (bisa tetap baik, bisa juga menjadi jahat), tetapi kejahatan itu tidak kodrati, maka bisa dilepaskan (

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KESETARAAN PRIA DAN WANITA DALAM BAHASA KEDANG

Areq Weriq - Ebe Abe Menjadi wanita artinya seorang wanita itu bebas untuk memilih, dan tidak bisa ditentukan sebelumnya menjadi wanit...